CRITICAL REVIEW PERENCANAAN PESISIR "STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA BERKELANJUTAN DI PERAIRAN PANTAI MAKASSAR"
I.
Pendahuluan
Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan,
karenanya wilayah ini merupakan suatu
wilayah yang unik secara geologis, ekologis, dan merupakan domain biologis yang sangat
penting bagi banyak kehidupan di daratan dan di perairan, termasuk manusia
(Beatley et al,1994). Wilayah pesisir juga unik dari segi ekonomi
karena wilayah ini menyediakan ruang bagi aktivitas manusia yang menghasilkan
manfaat ekonomi yang besar (Cincin-Sain and Knecht, 1998). Selain itu, Wilayah
pesisir merupakan mosaik dari ekosistem dan sumberdaya yang sangat beragam,
sehingga pesisir merupakan wilayah yang strategis bagi kondisi ekonomi dan
kesejahteraan sosial serta pembangunan negara (Cincin-Sain and Knecht, 1998).
Perkembangan kota pantai (waterfront city) di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara
dengan kegiatan utamanya perdagangan dan jasa serta pusat pemerintahan yang
pada mulanya berada di kawasan pesisir (Mulyandari, 2010 dalam Marasabessy,
2013). Kawasan pesisir di Indonesia dilihat dari sejarahnya merupakan titik
awal pertumbuhan suatu kota dan berfungsi sebagai pintu gerbang aktivitas
perkotaan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya yang berorientasi ke
laut (Laras, 2011). Kota pesisir juga memiliki tingkat kemajuan yang lebih
cepat dibandingkan kota daratan. Hal ini disebabkan oleh lancarnya arus
perdagangan antar pulau dimana wilayah pesisir menjadi simpul-simpul kegiatan perdagangan
serta dalam perkembangannya, kota pesisir lebih cenderung melakukan pembangunan
infrastruktur wilayah berupa pelabuhan, jalan, dan sarana prasarana lainnya
guna mendukung percepatan pembangunan kota (Iswandi, 2015).
Salah satu wilayah pesisir yang penting secara ekonomi dan ekologi adalah
wilayah pesisir Kota Makassar. Adanya berbagai aktivitas di wilayah pesisir
Kota Makassar telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran dan kerusakan terumbu
karang dan perubahan morfologi pantai. Adanya berbagai macam
permasalahan tersebut maka diperlukan upaya pengelolaan wilayah pesisir Kota
Makassar secara berkelanjutan agar ciri khas Kota Makassar sebagai ”water front city” akan tetap
terjaga. Dalam pengelolaan tersebut tidak
lepas dari tiga indikator utama dalam menejemen lingkungan yaitu adanya manfaat
ekonomi, sosial dan lingkungan. Upaya untuk meminimalkan dampak negatif dari
suatu pengelolaan wilayah pesisir serta memelihara kestabilan ekosistemnya
dapat dilakukan dengan menyusun suatu rencana pengelolaan berwawasan lingkungan
sehingga penataan kawasan tersebut dapat lebih optimal dan tidak melampaui daya
dukungnya. Dalam konteks pengelolaan
wilayah pesisir secara optimal dan
berkelanjutan diperlukan arahan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu (Dahuri, 2000).
Makassar sebagai waterfront city memang sangat rentang
terhadap barbagai perubahan, namun perubahan tersebut diharapkan bisa tetap
memperhatikan aspek-aspek lingkungan karena kota pantai merupakan suatu
ekosistem yang kompleks dan juga dinamis.
Untuk itu suatu strategi
kebijakan pengeloaan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Wilayah Pesisir
Kota Makassar perlu dilakukan agar lingkungan wilayah pesisir tersebut tetap
terjaga. Dalam jurnal, “Strategi Kebijakan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Di Perairan Pantai Makassar” penulis
melakukan penelitian untuk mengetahui strategi pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar untuk pengembangan
wilayah pesisir secara berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan analisis
prospektif yang bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi
dimasa yang akan datang.
II.
Review
Jurnal yang berjudul “Strategi
Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Di Perairan Pantai
Makassar” merupakan hasil karya mahasiswa Institut Pertanian Bogor yaitu Ridwan
Bohari. Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar tepatnya di wilayah pesisir
Kota Makassar. Peneliti menetapkan delapan kecamatan dari empatbelas kecamatan
yang dipilih secara sengaja dengan pertimbangan-pertimbangan yaitu letak
geografis kecamatan dekat atau berbatasan langsung dengan pantai Makassar,
kecamatan tersebut berdasarkan penetapan Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) masuk dalam wilayah kecamatan pesisir Kota Makassar, sinergi dengan
program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah daerah setempat, dan
potensi lahan yang memungkinkan untuk pengembangan wilayah pesisir dan didukung
dengan sarana dan prasarana umum yang memadai. Penulis melakukan penelitian di
wilayah pesisir pantai sepanjang 32 kilometer. Penelitian yang dilakukan oleh
penulis dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2012.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis prospektif, analisis dilakukan dalam rangka menghasilkan
skenario pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Kota Makassar
untuk masa yang akan datang dengan menentukan faktor kunci yang berpengaruh
terhadap kinerja sistem. Faktor-faktor kunci diambil dari hasil analisis Multidimensional Scaling (MDS ) sebanyak 18 faktor kunci yang di kategorikan
menjadi 5 dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial
budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi, dan dimensi hukum dan kelembagaan.
Berdasarkan faktor-faktor
kunci yang berpengaruh terhadap sistem, selanjutnya dibangun keadaan
yang mungkin terjadi dimasa depan dari faktor-faktor tersebut sebagai
alternatif penyusunan skenario pengembangan wilayah pesisir di Kota
Makassar.
Strategi pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan
wilayah pesisir secara berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan analisis
prospektif yang bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi
dimasa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga
tahap yaitu mengidentifikasi faktor kunci dimasa depan, menentukan tujuan
strategis dan kepentingan pelaku utama, dan mendefenisikan dan mendeskripsikan
evolusi kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan wilayah
pesisir secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Penentuan
faktor-faktor kunci dalam analisis ini dilakukan dengan penentuan faktor-faktor
kunci yang sensitif berpengaruh pada kinerja sistem hasil analisis
keberlanjutan, Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan diperoleh 18 faktor
(atribut) yang sensitif yaitu produktivitas usaha perikanan, intensitas
konversi lahan perikanan, ketersediaan informasi zona agroklimat, kondisi
sarana dan prasarana jalan desa, kelayakan usaha perikanan, kontribusi
perikanan terhadap PDRB, pola hubungan masyarakat dalam kegiatan perikanan,
tingkat penguasaan teknologi perikanan, dukungan sarana dan prasarana jalan,
ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan, penggunaan teknologi dalam
budidaya, ketersediaan basis data perikanan, perjanjian kerjasama dengan
swasta, keberadaan LKM, dan mekanisme kerjasama lintas sektoral.
Kemudian penulis menyusun penentuan faktor-faktor (atribut) yang mungkin
terjadi dimasa yang akan datang. Terdapat keadaan yang peluangnya kecil atau
tidak mungkin untuk terjadi secara bersamaan (mutual incompatible). Penulis menghubungkan antara satu keadaan
dengan keadaan lainnya seperti produktifitas usaha perikanan meningkat secara
bertahap sesuai kemampuan
petani tambak dengan intensitas konversi lahan meningkat tidak terkendali
(tinggi). Demikian pula dengan hubungan keadaan lainnya, namun karena faktor
kunci yang diskenariokan banyak dan ditampilkan dalam beberapa lembaran
sehingga hubungan yang tidak mungkin dapat terjadi bersamaan tidak bisa
ditampilkan pada lembaran yang berbeda, tetapi dalam penyusunan skenario,
hubungan ini tetap diperhatikan. Lalu penulis merumuskan tiga kelompok skenario
pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar untuk pengembangan kawasan
pesisir secara berkelanjutan yang berpeluang besar terjadi dimasa yang akan
datang, yaitu konservatif-pesimistik, moderat-optimistik, dan progresif-optimistik.
Pada skenario konservatif-pesimistik diupayakan dilakukan
perbaikan-perbaikan seadanya atau dengan kata lain perbaikan yang dilakukan
didasarkan pada efisiensi biaya yang dikeluarkan dapat ditekan sekecil mungkin.
Beberapa atribut kunci yang diupayakan dapat diperbaiki seperti produktifitas
usaha perikanan, Intensitas konversi lahan perikanan, kelayakan usaha industri
perikanan, kontribusi perikanan terhadap PDRB , dan ketersediaan industri
pengolahan hasil perikanan. Dengan adanya perbaikan-perbaikan atribut kunci
tersebut, akan terjadi perubahan nilai skoring. Setelah melakukan skoring
penulis menjelaskan adanya peningkatan nilai indeks keberlanjutan terhadap
semua dimensi. Hampir semua dimensi memiliki nilai indeks diatas dari nilai 50
%, kecuali dimensi infrastruktur dan teknologi, sosial budaya dan hukum dan
kelembagaan yang masih dibawah 50 %.
Namun demikian, jika dilihat dari nilai indeks keberlanjutan pada semua
dimensi, umumnya berada pada status kurang berkelanjutan. Hal ini berimplikasi
bahwa kondisi wilayah pesisir Kota Makassar belum mampu mendukung sepenuhnya
untuk pengembangan kawasan pesisir.
Berbeda dengan skenario
sebelumnya, upaya perbaikan beberapa
atribut kunci pada skenario moderat-optimistik, dilakukan sekitar 50 %
dari seluruh atribut kunci (atribut yang sensitif). Hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa penanganan wilayah pesisir dilakukan secara bertahap dengan
tetap mempertimbangkan kemampuan biaya yang tersedia. Misalnya penyediaan
sarana dan prasarana jalan yang sangat menghambat akses menuju wilayah jika
tidak ditangani secepatnya. Penulis melakukan skoring dan bahwa semua dimensi memiliki nilai indeks
keberlanjutan di atas 50 % atau sudah berada pada status cukup berkelanjutan
kecuali pada dimensi Infrastruktur - Teknologi dan Hukum dan Kelembagaan. Namun
untuk mencapai kondisi ideal, upaya peningkatan nilai indeks ini masih dapat
dilakukan dengan memaksimalkan perbaikan terhadap atribut yang ada. Beberapa
atribut yang masih memiliki peluang untuk diperbaiki antara lain pemberdayaan
masyarakat dalam kegiatan perikanan dan produktivitas usaha perikanan,
peningkatan tingkat penguasaan teknologi perikanan, dukungan sarana dan
prasarana jalan, ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan, meningkatkan
penggunaan teknologi dalam budidaya, ketersediaan basis data perikanan,
perjanjian kerjasama dengan swasta serta mekanisme kerjasama lintas sektoral
dalam pengembangan wilayah pesisir.
Pada skenario
progresif-optimistik, upaya perbaikan dilakukan terhadap seluruh atribut kunci.
Dalam hal ini dapat dilakukan dalam tiga masa waktu yaitu jangka pendek dengan
melakukan perbaikan-perbaikan atribut yang mendesak untuk ditangani, kemudian
jangka menengah dan jangka panjang dengan melakukan perbaikan terhadap atribut
penunjang pengembangan wilayah pesisir. Ini dapat dilakukan dengan komitmen
yang kuat dari pemerintah sebagai fasilitator dalam merintis pengembangan
wilayah pesisir. terlihat bahwa peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada
semua dimensi sudah mendekati kondisi aktual yaitu berada pada nilai 60 % atau
pada status berkelanjutan, kecuali dimensi sosial budaya yang nilainya masih di
bawah dari nilai 60 %. Rendahnya nilai indeks keberlanjutan pada dimensi sosial
budaya disebabkan oleh masih banyaknya atribut dimensi sosial budaya yang belum
dipertimbangkan untuk ditangani dalam penyusunan skenario ini karena
atribut-atribut tersebut tidak sensitif berpengaruh terhadap pengembangan
wilayah. Oleh karena itu untuk lebih memantapkan keberlanjutan pengembangan
kawasan pesisir di wilayah kota Makassar, penanganan terhadap atribut-atribut
yang tidak sensitif merupakan suatu hal yang sulit untuk dipungkiri. Hal ini
terlihat dari nilai indeks keberlanjutan yang hanya mencapai nilai sekitar 60
%, sementara perbaikan terhadap atribut yang sensitif ditangani secara
maksimal. Ini berarti bahwa nilai indeks
keberlanjutan sekitar 40 % adalah faktor error dari atribut yang tidak
diperhitungkan dalam peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada setiap
skenario yaitu atribut yang tidak sensitif berpengaruh.
Menurut penulis skenario yang perlu dilakukan untuk meningkatkan status
keberlanjutan pengembangan wilayah pesisir di wilayah Kota Makassar adalah
skenario progresif-optimistik dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh
terhadap semua atribut yang sensitif sehingga semua dimensi menjadi
berkelanjutan untuk pengembangan wilayah pesisir. Keberlanjutan pengembangan
wilayah pesisir yang diharapkan dapat mengikuti dua tipe yaitu tipe indikator
kondisi dan tipe indikator trend yang menggambarkan kecenderungan linier dari
perkembangan sumberdaya sampai pada batas optimal.
III.
Kajian
Kritis
Kajian penulis jurnal “Strategi Kebijakan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Di Perairan Pantai Makassar”
memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan terkait isi pembahasan serta metode
yang digunakan. Kelebihan yang dapat ditemukan adalah tujuan penelitian yang secara
keseluruhan telah terjawab dengan pemaparan sistematis yang disajikan dengan rinci
hingga menampilkan tabel skoring di setiap skenario yang dilakukan dan pada bagian
pembahasan dijelaskan faktor apa saja yang harus diperbaiki, terdapat peta dan
kerangka pemikiran yang jelas sehingga memudahkan pembaca untuk menemukan
jawaban dari permasalahan yang diangkat.
Beberapa
kelemahan dapat ditemukan dari penulisan jurnal. Pertama adalah tidak adanya
kajian pustaka yang dapat mendukung proses analisis yang dilakukan mengenai
pengembangan kawasan pesisir
dengan skenario konservatif-pesimistik,
moderat-optimistik, dan progresif-optimistik. Hanya ada bagian
pendahuluan, metode penelitian, hasil dan
pembahasan,
dan kesimpulan. Sebagai
perbandingan, jurnal sejenis yang mengangkat penelitian terkait kawasan pesisir
yaitu “ Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Sustainable Development
Di Kabupaten Sampang (Studi Pada Bappeda Kabupaten Sampang)” oleh Dian
Marliana, dkk terdapat penjelasan mengenai peraturan pemerintah daerah Kabupaten
Tahun 2010-2029 yang berisikan zonasi kawasan pesisir Kabupaten Sampang,
kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam mengembangkan dan
memelihara ekosistem pesisir, dan dampak implementasi kebijakan pengelolaan
wilayah pesisir berbasis sustainable
development di Kabupaten Sempang. Jurnal “ Kebijakan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Berbasis Sustainable Development Di Kabupaten Sampang
(Studi Pada Bappeda Kabupaten Sampang)” memiliki struktur yang jelas yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, metode penelitian, pembahasan, dan kesimpulan.
Selanjutnya,
kelemahan lain di jurnal ini yaitu tidak adanya penjelasan bagaimana
karakteristik spasial atau karakteristik fisik serta ekosistem pesisir apa yang
ada di kelurahan-kelurahan pesisir Kota Makassar, sehingga tidak dapat
memberikan gambaran bagi pembaca bagaimana kondisi kawasan pesisir di Kota
Makassar. Karakteristik spasial dapat menjelaskan bagaimana kondisi geografis
dan morfologi dari kawasan pesisir seperti lereng pantai, jenis pantai dan bentukan-bentukan lainnya di kawasan pesisir Kota
Makassar. Diluar isi dari jurnal yang dibahas, terdapat
isu-isu di Kota Makassar yaitu mengurangi tingkat konversi lahan perikanan, walaupun
saat ini intensitas konversi lahan perikanan masih tergolong sangat rendah
karena masih lambatnya perkembangan pembangunan di Kota Makassar. Dilihat dari aspek ekonomi, tujuan utama pengembangan wilayah pesisir
adalah bagaimana kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. Hal ini dapat
dicapai melalui peningkatan keuntungan usaha perikanan dan usaha lain yang
dilakukan oleh petambak dan nelayan di wilayah pesisir. Pada dimensi
sosial-budaya, pencapaian indikator keberlanjutan pada dimensi ini dapat
diperoleh melalui perbaikan atribut seperti meningkatkan pola hubungan
masyarakat yang saling menguntungkan dalam kegiatan perikanan, meningkatkan
peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan, peningkatan jumlah desa dengan
penduduk bekerja di sektor perikanan, mengutamakan pemberdayaan masyarakat
lokal, dan jarak permukiman ke kawasan usaha perikanan. Kenyataan menunjukkan
bahwa tenaga kerja yang ada di wilayah pesisir Kota Makassar tergolong masih
rendah baik pendidikan formal yaitu masih di bawah rata-rata tingkat pendidikan
nasional maupun pendidikan non formal.
Di wilayah pesisir Kota Makassar, keberadaan sarana dan prasarana umum
masih tergolong sangat minim seperti sarana pendidikan, kesehatan, sosial,
termasuk sarana jalan baik jalan desa maupun jalan usaha perikanan. Demikian
pula sarana dan prasarana pendukung agribisnis seperti ketersediaan industri
pengolahan hasil perikanan masih sangat minim. Perubahan keberlanjutan
berdasarkan indikator-indikator tersebut dapat dilihat dari dua tipe indikator
(Walker dan Reuter, 1996 dalam Nurmalina,
2007) yaitu (1) indikator kondisi yaitu indikator yang mendefenisikan kondisi
sistem relatif terhadap kondisi yang diinginkan atau yang dapat digunakan untuk
menilai kondisi lingkungan. Indikator kondisi ini mengkarakteristikkan seluruh
besaran dari suatu keadaan sumberdaya tertentu dari nilai kondisi ideal selama
periode simulasi dan (2) indikator trend yaitu indikator yang mengukur
bagaimana sistem tersebut berubah terhadap waktu. Indikator ini menggambarkan
seluruh kecenderungan linier dari suatu keadaan sumberdaya selama periode
dimulai.
IV.
Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang
dapat diberikan yaitu perlu
dilakukan penguasaan teknologi perikanan bagi tenaga kerja perikanan yang ada
juga masih tergolong rendah serta akses terhadap informasi-informasi perikanan
yang masih kurang. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan
wilayah untuk pengembangan wilayah pesisir ke depan. Oleh karena itu, dalam
rangka pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar, maka penyediaan sarana
dan prasarana umum dan agribisnis ini perlu segera ditangani dengan baik.
Tentunya sangat dibutuhkan peran dari semua stakeholder yang terkait terutama
dari pihak pemerintah yang berperan sebagai fasilitator dalam pengembangan
wilayah pesisir. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar merupakan hal sangat dibutuhkan
untuk mengeluarkan wilayah ini dari ketertinggalan dan keterasingan yang dialami
selama ini, mengingat wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan di sektor
perikanan. Program-program pengembangan pesisir ini perlu sinkroniasi antara
kebijakan pusat dan daerah dengan mengedepankan kepentingan masyarakat
setempat. Dengan kata lain, usulan program-program pengembangan wilayah pesisir
harus berasal dari kalangan akar rumput (grass
root) yaitu masyarakat setempat (button up) dan bukan berasal dari
pemerintah pusat (top down) walaupun
dukungan dari pemerintah pusat sangat diperlukan. Disisi lain kerjasama lintas
sektoral juga sangat diperlukan serta peran dari masing-masing lembaga
kemasyarakatan yang ada.
Daftar
Pustaka
Beatley, et al. 1994. “An Introduction to Coastal
Zone Management”. Island Press, Washington DC.
Cincin-Sain B., and Robert W.B. 1998. “Integrated
Coastal and Ocean Management. Concepts
and Practices”. Island Press Washington,
DC. Covello,California
Dahuri, R.,
2000. “Analisis Kebijakan dan Program Penglolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil”. Makalah disampaikan pada Pelatihan Menajemen Wilayah
Pesisir. Fakultas Perikanan dan Kelautan
IPB. Bogor.
Dahuri,
H.R., J. Rais, S.P. Ginting dan H.J. Sitepu. 1996. “Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu”. PT. Prandya
Paramita, Jakarta.
Iswandi, R. Marsuki. 2015. “Perencanaan
dan Pengembangan Kota Pesisir Berwawasan Lingkungan”. Unhalu Press.
Kendari.
Laras, Bambang Kanti. 2011. “Desain Kebijakan Pengelolaan
Waterfront City Kota Semarang”. Disertasi.
Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Marasabessy, Firdawaty. 2013. “Analisis Infrastruktur Kota di
Kawasan Waterfront: Studi Kasus Kota Ternate”. Tesis. Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Suprijanto. 2007. “Karakteristik
Spesifik, Permasalahan dan Potensi Pengembangan Kawasan Kota Tepi Laut/Pantai
(Coastal City) di Indonesia”. Proceeding Studi Dampak Timbal Balik Antar
Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. hh
289-308.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar