Minggu, 14 Oktober 2018


CRITICAL REVIEW PERENCANAAN PESISIR "STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN  WILAYAH PESISIR SECARA BERKELANJUTAN DI PERAIRAN PANTAI MAKASSAR"
I.              Pendahuluan
Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya  wilayah ini merupakan suatu wilayah yang unik secara geologis, ekologis, dan merupakan domain biologis  yang sangat penting bagi banyak kehidupan di daratan dan di perairan, termasuk manusia (Beatley et al,1994).  Wilayah pesisir juga unik dari segi ekonomi karena wilayah ini menyediakan ruang bagi aktivitas manusia yang menghasilkan manfaat ekonomi yang besar (Cincin-Sain and Knecht, 1998). Selain itu, Wilayah pesisir merupakan mosaik dari ekosistem dan sumberdaya yang sangat beragam, sehingga pesisir merupakan wilayah yang strategis bagi kondisi ekonomi dan kesejahteraan sosial serta pembangunan negara (Cincin-Sain and Knecht, 1998).
Perkembangan kota pantai (waterfront city) di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan kegiatan utamanya perdagangan dan jasa serta pusat pemerintahan yang pada mulanya berada di kawasan pesisir (Mulyandari, 2010 dalam Marasabessy, 2013). Kawasan pesisir di Indonesia dilihat dari sejarahnya merupakan titik awal pertumbuhan suatu kota dan berfungsi sebagai pintu gerbang aktivitas perkotaan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya yang berorientasi ke laut (Laras, 2011). Kota pesisir juga memiliki tingkat kemajuan yang lebih cepat dibandingkan kota daratan. Hal ini disebabkan oleh lancarnya arus perdagangan antar pulau dimana wilayah pesisir menjadi simpul-simpul kegiatan perdagangan serta dalam perkembangannya, kota pesisir lebih cenderung melakukan pembangunan infrastruktur wilayah berupa pelabuhan, jalan, dan sarana prasarana lainnya guna mendukung percepatan pembangunan kota (Iswandi, 2015).
Salah satu wilayah pesisir yang penting secara ekonomi dan ekologi adalah wilayah pesisir Kota Makassar. Adanya berbagai aktivitas di wilayah pesisir Kota Makassar telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan  berupa pencemaran dan kerusakan terumbu karang dan perubahan morfologi pantai. Adanya berbagai macam permasalahan tersebut maka diperlukan upaya pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar secara berkelanjutan agar ciri khas Kota Makassar sebagai ”water front city” akan tetap terjaga.  Dalam pengelolaan tersebut tidak lepas dari tiga indikator utama dalam menejemen lingkungan yaitu adanya manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Upaya untuk meminimalkan dampak negatif dari suatu pengelolaan wilayah pesisir serta memelihara kestabilan ekosistemnya dapat dilakukan dengan menyusun suatu rencana pengelolaan berwawasan lingkungan sehingga penataan kawasan tersebut dapat lebih optimal dan tidak melampaui daya dukungnya.  Dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir secara  optimal dan berkelanjutan diperlukan arahan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (Dahuri, 2000).
            Makassar sebagai waterfront city memang sangat rentang terhadap barbagai perubahan, namun perubahan tersebut diharapkan bisa tetap memperhatikan aspek-aspek lingkungan karena kota pantai merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan juga dinamis.  Untuk itu suatu  strategi kebijakan pengeloaan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Makassar perlu dilakukan agar lingkungan wilayah pesisir tersebut tetap terjaga. Dalam jurnal, “Strategi Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Di Perairan Pantai Makassar” penulis melakukan penelitian untuk mengetahui strategi pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif yang bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang.

II.              Review
Jurnal yang berjudul “Strategi Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Di Perairan Pantai Makassar” merupakan hasil karya mahasiswa Institut Pertanian Bogor yaitu Ridwan Bohari. Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar tepatnya di wilayah pesisir Kota Makassar. Peneliti menetapkan delapan kecamatan dari empatbelas kecamatan yang dipilih secara sengaja dengan pertimbangan-pertimbangan yaitu letak geografis kecamatan dekat atau berbatasan langsung dengan pantai Makassar, kecamatan tersebut berdasarkan penetapan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) masuk dalam wilayah kecamatan pesisir Kota Makassar, sinergi dengan program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah daerah setempat, dan potensi lahan yang memungkinkan untuk pengembangan wilayah pesisir dan didukung dengan sarana dan prasarana umum yang memadai. Penulis melakukan penelitian di wilayah pesisir pantai sepanjang 32 kilometer. Penelitian yang dilakukan oleh penulis dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2012.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis prospektif, analisis dilakukan dalam rangka menghasilkan skenario pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Kota Makassar untuk masa yang akan datang dengan menentukan faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Faktor-faktor kunci diambil dari hasil analisis Multidimensional Scaling (MDS) sebanyak 18 faktor kunci yang di kategorikan menjadi 5 dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi, dan dimensi hukum dan kelembagaan. Berdasarkan faktor-faktor  kunci yang berpengaruh terhadap sistem, selanjutnya dibangun keadaan yang mungkin terjadi dimasa depan dari faktor-faktor tersebut sebagai alternatif penyusunan skenario pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar. 
Strategi pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif yang bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.  Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahap yaitu mengidentifikasi faktor kunci dimasa depan, menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, dan mendefenisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Penentuan faktor-faktor kunci dalam analisis ini dilakukan dengan penentuan faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh pada kinerja sistem hasil analisis keberlanjutan, Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan diperoleh 18 faktor (atribut) yang sensitif yaitu produktivitas usaha perikanan, intensitas konversi lahan perikanan, ketersediaan informasi zona agroklimat, kondisi sarana dan prasarana jalan desa, kelayakan usaha perikanan, kontribusi perikanan terhadap PDRB, pola hubungan masyarakat dalam kegiatan perikanan, tingkat penguasaan teknologi perikanan, dukungan sarana dan prasarana jalan, ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan, penggunaan teknologi dalam budidaya, ketersediaan basis data perikanan, perjanjian kerjasama dengan swasta, keberadaan LKM, dan mekanisme kerjasama lintas sektoral.
Kemudian penulis menyusun penentuan faktor-faktor (atribut) yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Terdapat keadaan yang peluangnya kecil atau tidak mungkin untuk terjadi secara bersamaan (mutual incompatible). Penulis menghubungkan antara satu keadaan dengan keadaan lainnya seperti produktifitas usaha perikanan meningkat secara bertahap sesuai kemampuan petani tambak dengan intensitas konversi lahan meningkat tidak terkendali (tinggi). Demikian pula dengan hubungan keadaan lainnya, namun karena faktor kunci yang diskenariokan banyak dan ditampilkan dalam beberapa lembaran sehingga hubungan yang tidak mungkin dapat terjadi bersamaan tidak bisa ditampilkan pada lembaran yang berbeda, tetapi dalam penyusunan skenario, hubungan ini tetap diperhatikan. Lalu penulis merumuskan tiga kelompok skenario pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar untuk pengembangan kawasan pesisir secara berkelanjutan yang berpeluang besar terjadi dimasa yang akan datang, yaitu konservatif-pesimistik, moderat-optimistik, dan progresif-optimistik.
Pada skenario konservatif-pesimistik diupayakan dilakukan perbaikan-perbaikan seadanya atau dengan kata lain perbaikan yang dilakukan didasarkan pada efisiensi biaya yang dikeluarkan dapat ditekan sekecil mungkin. Beberapa atribut kunci yang diupayakan dapat diperbaiki seperti produktifitas usaha perikanan, Intensitas konversi lahan perikanan, kelayakan usaha industri perikanan, kontribusi perikanan terhadap PDRB , dan ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan. Dengan adanya perbaikan-perbaikan atribut kunci tersebut, akan terjadi perubahan nilai skoring. Setelah melakukan skoring penulis menjelaskan adanya peningkatan nilai indeks keberlanjutan terhadap semua dimensi. Hampir semua dimensi memiliki nilai indeks diatas dari nilai 50 %, kecuali dimensi infrastruktur dan teknologi, sosial budaya dan hukum dan kelembagaan yang masih dibawah 50 %.  Namun demikian, jika dilihat dari nilai indeks keberlanjutan pada semua dimensi, umumnya berada pada status kurang berkelanjutan. Hal ini berimplikasi bahwa kondisi wilayah pesisir Kota Makassar belum mampu mendukung sepenuhnya untuk pengembangan kawasan pesisir.
Berbeda dengan skenario sebelumnya, upaya perbaikan beberapa  atribut kunci pada skenario moderat-optimistik, dilakukan sekitar 50 % dari seluruh atribut kunci (atribut yang sensitif). Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa penanganan wilayah pesisir dilakukan secara bertahap dengan tetap mempertimbangkan kemampuan biaya yang tersedia. Misalnya penyediaan sarana dan prasarana jalan yang sangat menghambat akses menuju wilayah jika tidak ditangani secepatnya. Penulis melakukan skoring dan  bahwa semua dimensi memiliki nilai indeks keberlanjutan di atas 50 % atau sudah berada pada status cukup berkelanjutan kecuali pada dimensi Infrastruktur - Teknologi dan Hukum dan Kelembagaan. Namun untuk mencapai kondisi ideal, upaya peningkatan nilai indeks ini masih dapat dilakukan dengan memaksimalkan perbaikan terhadap atribut yang ada. Beberapa atribut yang masih memiliki peluang untuk diperbaiki antara lain pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan dan produktivitas usaha perikanan, peningkatan tingkat penguasaan teknologi perikanan, dukungan sarana dan prasarana jalan, ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan, meningkatkan penggunaan teknologi dalam budidaya, ketersediaan basis data perikanan, perjanjian kerjasama dengan swasta serta mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan wilayah pesisir.
Pada skenario progresif-optimistik, upaya perbaikan dilakukan terhadap seluruh atribut kunci. Dalam hal ini dapat dilakukan dalam tiga masa waktu yaitu jangka pendek dengan melakukan perbaikan-perbaikan atribut yang mendesak untuk ditangani, kemudian jangka menengah dan jangka panjang dengan melakukan perbaikan terhadap atribut penunjang pengembangan wilayah pesisir. Ini dapat dilakukan dengan komitmen yang kuat dari pemerintah sebagai fasilitator dalam merintis pengembangan wilayah pesisir. terlihat bahwa peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada semua dimensi sudah mendekati kondisi aktual yaitu berada pada nilai 60 % atau pada status berkelanjutan, kecuali dimensi sosial budaya yang nilainya masih di bawah dari nilai 60 %. Rendahnya nilai indeks keberlanjutan pada dimensi sosial budaya disebabkan oleh masih banyaknya atribut dimensi sosial budaya yang belum dipertimbangkan untuk ditangani dalam penyusunan skenario ini karena atribut-atribut tersebut tidak sensitif berpengaruh terhadap pengembangan wilayah. Oleh karena itu untuk lebih memantapkan keberlanjutan pengembangan kawasan pesisir di wilayah kota Makassar, penanganan terhadap atribut-atribut yang tidak sensitif merupakan suatu hal yang sulit untuk dipungkiri. Hal ini terlihat dari nilai indeks keberlanjutan yang hanya mencapai nilai sekitar 60 %, sementara perbaikan terhadap atribut yang sensitif ditangani secara maksimal.  Ini berarti bahwa nilai indeks keberlanjutan sekitar 40 % adalah faktor error dari atribut yang tidak diperhitungkan dalam peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada setiap skenario yaitu atribut yang tidak sensitif berpengaruh.
Menurut penulis skenario yang perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan pengembangan wilayah pesisir di wilayah Kota Makassar adalah skenario progresif-optimistik dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif sehingga semua dimensi menjadi berkelanjutan untuk pengembangan wilayah pesisir. Keberlanjutan pengembangan wilayah pesisir yang diharapkan dapat mengikuti dua tipe yaitu tipe indikator kondisi dan tipe indikator trend yang menggambarkan kecenderungan linier dari perkembangan sumberdaya sampai pada batas optimal.

III.              Kajian Kritis
Kajian penulis jurnal “Strategi Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Di Perairan Pantai Makassar” memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan terkait isi pembahasan serta metode yang digunakan. Kelebihan yang dapat ditemukan adalah tujuan penelitian yang secara keseluruhan telah terjawab dengan pemaparan sistematis yang disajikan dengan rinci hingga menampilkan tabel skoring di setiap  skenario yang dilakukan dan pada bagian pembahasan dijelaskan faktor apa saja yang harus diperbaiki, terdapat peta dan kerangka pemikiran yang jelas sehingga memudahkan pembaca untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diangkat.
Beberapa kelemahan dapat ditemukan dari penulisan jurnal. Pertama adalah tidak adanya kajian pustaka yang dapat mendukung proses analisis yang dilakukan mengenai pengembangan kawasan pesisir dengan skenario konservatif-pesimistik, moderat-optimistik, dan progresif-optimistik. Hanya ada bagian pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, dan kesimpulan. Sebagai perbandingan, jurnal sejenis yang mengangkat penelitian terkait kawasan pesisir yaitu “ Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Sustainable Development Di Kabupaten Sampang (Studi Pada Bappeda Kabupaten Sampang)” oleh Dian Marliana, dkk terdapat penjelasan mengenai peraturan pemerintah daerah Kabupaten Tahun 2010-2029 yang berisikan zonasi kawasan pesisir Kabupaten Sampang, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam mengembangkan dan memelihara ekosistem pesisir, dan dampak implementasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir berbasis sustainable development di Kabupaten Sempang. Jurnal “ Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Sustainable Development Di Kabupaten Sampang (Studi Pada Bappeda Kabupaten Sampang)” memiliki struktur yang jelas yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, pembahasan, dan kesimpulan.
Selanjutnya, kelemahan lain di jurnal ini yaitu tidak adanya penjelasan bagaimana karakteristik spasial atau karakteristik fisik serta ekosistem pesisir apa yang ada di kelurahan-kelurahan pesisir Kota Makassar, sehingga tidak dapat memberikan gambaran bagi pembaca bagaimana kondisi kawasan pesisir di Kota Makassar. Karakteristik spasial dapat menjelaskan bagaimana kondisi geografis dan morfologi dari kawasan pesisir seperti lereng pantai, jenis pantai dan bentukan-bentukan lainnya di kawasan pesisir Kota Makassar. Diluar isi dari jurnal yang dibahas, terdapat isu-isu di Kota Makassar yaitu mengurangi tingkat konversi lahan perikanan, walaupun saat ini intensitas konversi lahan perikanan masih tergolong sangat rendah karena masih lambatnya perkembangan pembangunan di Kota Makassar. Dilihat dari aspek ekonomi, tujuan utama pengembangan wilayah pesisir adalah bagaimana kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan keuntungan usaha perikanan dan usaha lain yang dilakukan oleh petambak dan nelayan di wilayah pesisir. Pada dimensi sosial-budaya, pencapaian indikator keberlanjutan pada dimensi ini dapat diperoleh melalui perbaikan atribut seperti meningkatkan pola hubungan masyarakat yang saling menguntungkan dalam kegiatan perikanan, meningkatkan peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan, peningkatan jumlah desa dengan penduduk bekerja di sektor perikanan, mengutamakan pemberdayaan masyarakat lokal, dan jarak permukiman ke kawasan usaha perikanan. Kenyataan menunjukkan bahwa tenaga kerja yang ada di wilayah pesisir Kota Makassar tergolong masih rendah baik pendidikan formal yaitu masih di bawah rata-rata tingkat pendidikan nasional maupun pendidikan non formal.
Di wilayah pesisir Kota Makassar, keberadaan sarana dan prasarana umum masih tergolong sangat minim seperti sarana pendidikan, kesehatan, sosial, termasuk sarana jalan baik jalan desa maupun jalan usaha perikanan. Demikian pula sarana dan prasarana pendukung agribisnis seperti ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan masih sangat minim. Perubahan keberlanjutan berdasarkan indikator-indikator tersebut dapat dilihat dari dua tipe indikator (Walker dan Reuter, 1996 dalam Nurmalina, 2007) yaitu (1) indikator kondisi yaitu indikator yang mendefenisikan kondisi sistem relatif terhadap kondisi yang diinginkan atau yang dapat digunakan untuk menilai kondisi lingkungan. Indikator kondisi ini mengkarakteristikkan seluruh besaran dari suatu keadaan sumberdaya tertentu dari nilai kondisi ideal selama periode simulasi dan (2) indikator trend yaitu indikator yang mengukur bagaimana sistem tersebut berubah terhadap waktu. Indikator ini menggambarkan seluruh kecenderungan linier dari suatu keadaan sumberdaya selama periode dimulai.

IV.              Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat diberikan yaitu perlu dilakukan penguasaan teknologi perikanan bagi tenaga kerja perikanan yang ada juga masih tergolong rendah serta akses terhadap informasi-informasi perikanan yang masih kurang. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan wilayah untuk pengembangan wilayah pesisir ke depan. Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar, maka penyediaan sarana dan prasarana umum dan agribisnis ini perlu segera ditangani dengan baik. Tentunya sangat dibutuhkan peran dari semua stakeholder yang terkait terutama dari pihak pemerintah yang berperan sebagai fasilitator dalam pengembangan wilayah pesisir. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir di  Kota Makassar merupakan hal sangat dibutuhkan untuk mengeluarkan wilayah ini dari ketertinggalan dan keterasingan yang dialami selama ini, mengingat wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan di sektor perikanan. Program-program pengembangan pesisir ini perlu sinkroniasi antara kebijakan pusat dan daerah dengan mengedepankan kepentingan masyarakat setempat. Dengan kata lain, usulan program-program pengembangan wilayah pesisir harus berasal dari kalangan akar rumput (grass root) yaitu  masyarakat setempat (button up) dan bukan berasal dari pemerintah pusat (top down) walaupun dukungan dari pemerintah pusat sangat diperlukan. Disisi lain kerjasama lintas sektoral juga sangat diperlukan serta peran dari masing-masing lembaga kemasyarakatan yang ada.




Daftar Pustaka
Beatley, et al. 1994. “An Introduction to Coastal Zone Management”. Island Press, Washington DC.
Cincin-Sain B., and Robert W.B. 1998. “Integrated Coastal and Ocean  Management. Concepts and Practices”.  Island Press Washington, DC. Covello,California
Dahuri, R., 2000. “Analisis Kebijakan dan Program Penglolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil”. Makalah disampaikan pada Pelatihan Menajemen Wilayah Pesisir.  Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB.  Bogor.
Dahuri, H.R., J. Rais, S.P. Ginting dan H.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prandya Paramita, Jakarta.
Iswandi, R. Marsuki. 2015. “Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Berwawasan Lingkungan”. Unhalu Press. Kendari.
Laras, Bambang Kanti. 2011. “Desain Kebijakan Pengelolaan Waterfront City Kota Semarang”. Disertasi. Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Marasabessy, Firdawaty. 2013. “Analisis Infrastruktur Kota di Kawasan Waterfront: Studi Kasus Kota Ternate”. Tesis. Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suprijanto. 2007. “Karakteristik Spesifik, Permasalahan dan Potensi Pengembangan Kawasan Kota Tepi Laut/Pantai (Coastal City) di Indonesia”. Proceeding Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. hh 289-308.

Senin, 19 Maret 2018

Perairan Estuaria Sungai Kapuas Kalimantan Barat


Kalimantan Barat termasuk salah satu provinsi yang memiliki kondisi geografis yang khas dan mempunyai ratusan sungai besar dan kecil sehingga dijuluki propinsi seribu sungai. Pada umumnya sungai tersebut masih digunakan sebagai jalur angkutan alternative, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan. Hal ini terjadi karena sungai masih merupakan sarana transportasi murah yang dapat menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya di wilayah Kalimantan Barat. Selain itu, sungai merupakan sumber mata pecaharian keluarga dalam bidang perikanan. Salah satu sungai yang ada di Kalimantan Barat adalah Sungai Kapuas.

Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Sungai Kapuas memiliki panjang 1.143 km dan menjadi urat nadi bagi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat yaitu sebagai sarana transportasi sungai, sumber irigasi, sumber perikanan dan lain sebagainya. Terdapat berbagai masalah lingkungan yang dihadapi Sungai Kapuas, antara lain masalah naiknya kadar garam musiman di sekitar muara, peningkatan endapan lumpur, erosi, banjir, dan pendangkalan jalur perkapalan ke pelabuhan sungai. Daerah estuaria Sungai Kapuas merupakan daerah yang sangat kompleks karena adanya pengaruh seperti salinitas, suhu, sapuan arus, hempasan ombak dan pasang surut laut (pasut). Interaksi antara aliran air dari Sungai Kapuas dan arus pasang surut yang masuk dari laut berpengaruh terhadap dinamika hidrodinamika, intrusi salinitas, dan proses transpor sedimen. 
Muara Sungai Kapuas dan perairan pantai sekitar muara merupakan alur pelayaran yang sering mengalami pendangkalan yang membahayakan kapal - kapal yang melaluinya. Pendangkalan ini terjadi akibat adanya pengendapan dan pengangkutan material sedimen. Hal ini menyebabkan kedalaman alur pelayaran minimum yang aman bagi pelayaran sedalam lebih dari 6 meter sulit untuk dipertahankan, sehingga upaya pengerukan secara rutin sering dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jumarang (2012) tentang memodelkan dan mengkaji perubahan dasar perairan atau ketebalan dasar perairan estuaria Sungai Kapuas yang mengalami sedimentasi (pendangkalan). Pada penelitian yang dilakukan digunakan model numerik hidrodinamika 2 dimensi menggunakan MIKE 21 yang dikembangkan oleh DHI Water & Environment untuk mensimulasikan pola sirkulasi arus. MIKE 21 menggunakan fleksibel mesh dan telah banyak diaplikasikan dalam bidang oseanografi, daerah coastal dan estuaria.
Domain model terdiri dari tiga batas terbuka, yaitu batas terbuka utara, barat dan selatan dan pada tiap titik di batas terbuka ini digunakan elevasi pasang surut yang diramalkan dengan Tidal Model Driver (TMD). Discharge sungai (hulu) diberikan data sintetik yaitu 1568,7 m3/s, sedangkan data angin diperoleh dari NCEP (National Centers for Environmental Prediction) dan diberikan seragam untuk seluruh domain model tetapi bervariasi terhadap waktu (angin 6 jam-an). Koefisien gesekan dasar menggunakan koefisien Manning 32 m1/3/s dan untuk suku turbulensi horizontal digunakan koefisien Smagorinsky dengan nilai konstanta 0,28. Simulasi dilakukan dengan skenario, pasut, discharge sungai dan angin sebagai pembangkit arus. Pada skenario yang dilakukan, kecepatan arus hasil model diverifikasi dengan hasil prediksi Tidal Model Driver (TMD). Titik – titik verifikasi tersebut diperlihatkan Gambar 1. Pemilihan waktu cuplik pasang surut mengacu pada titik A pada Gambar 1.
Gambar 1. Titik-Titik Verifikasi Ditandai Dengan Nomor 1, 2, dan 3, Acuan Waktu Cuplik Pasang Surut Ditandai Dengan Titik.
Sumber : Jurnal Program Studi Oseanografi, Vol. 1, No. 1 (2011)
Pola perubahan batimetri Muara Sungai Kapuas yang diperoleh dari hasil simulasi model menggunakan gaya pembangkit pasang surut, debit sungai dan angin disajikan per bulan. Perubahan batimetri muara sungai diketahui berdasarkan perubahan ketebalan dasar muara sungai. Dari hasil simulasi akan terlihat daerah yang mengalami abrasi/terkikis dan daerah akrasi/pengendapan. Daerah abrasi ditunjukkan oleh nilai perubahan yang bertanda minus, demikian pula sebaliknya. Perubahan ketebalan dasar perairan muara Sungai Kapuas pada bulan Januari s.d Februari umumnya mengalami sedimentasi (pendangkalan) dengan perubahan ketebalan sekitar 3 s.d 27 mm (Gambar 2 dan 3).
Gambar 2. Pola Perubahan Batimetri Pada Bulan Januari  Di Muara Studi Kasus Flokulasi











Sumber : Jurnal Program Studi Oseanografi, Vol. 1, No. 1 (2011)
Gambar 3. Pola Perubahan Batimetri Pada Bulan  Februari Di Muara Studi Kasus Flokulasi
Sumber : Jurnal Program Studi Oseanografi, Vol. 1, No. 1 (2011)

Daerah muara sungai yang mengalami pengikisan yaitu pada daerah percabangan anak sungai Kapuas yang terletak pada bagian hulu daerah model yang dianalisis. Pada bulan Maret, secara umum hanya bagian hulu daerah model yang mengalami peningkatan pendangkalan hingga mencapai 45 mm. Pada daerah percabangan anak sungai tetap mengalami pengikisan. Pengikisan pada daerah percabangan anak sungai Kapuas mencapai ketebalan 51 mm dan terjadi sebelum percabangan. Aktifitas sedimentasi di daerah dekat percabangan anak sungai tersebut menunjukkan bahwa suplai air dari anak sungai berperan sebagai penyebab terjadinya pengikisan. Sedangkan pada daerah muara sungai yang dekat dengan mulut muara cenderung mengalami perubahan ketebalan yang hampir sama dengan perubahan pada bulan Januari dan Februari (ketebalan sedimentasi sekitar 15 mm) (Gambar 3).
Gambar 3. Pola Perubahan Batimetri Pada Bulan Maret Di Muara Studi Kasus Flokulasi
Sumber : Jurnal Program Studi Oseanografi, Vol. 1, No. 1 (2011)
Pendangkalan yang signifikan tersebut pada bulan April semakin bergerak ke arah muara hingga mencapai daerah sebelum delta besar pada daerah model. Hal ini menunjukkan bahwa material sedimen semakin jauh diendapkan ke daerah muara seiring dengan peningkatan sedimentasi di daerah hulu daerah model. Proses sedimentasi tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Pola Perubahan Batimetri Pada Bulan Aprildi Muara Studi Kasus Flokulasi
Sumber : Jurnal Program Studi Oseanografi, Vol. 1, No. 1 (2011)
Dari penelitian yang dilakukan oleh Jumarang (2012) dapat disimpulkan dalam rentang waktu simulasi, muara sungai Kapuas umumnya mengalami pendangkalan dengan ketebalan yang bervariasi. Pengendapan material sedimen terjadi hanya sampai pada daerah sebelum delta Sungai Kapuas, bahkan pada mulut muara bagian utara terjadi proses abrasi (pengikisan material dasar sungai). Karena terdapat sedimentasi di perairan estuaria di Sungai Kapuas membuat kapal-kapal yang melewati Sungai Kapuas terhambat pergerakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.1998. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Ditjen Pembangunan Daerah, Depdagri.
Hadi, S., N. S. Ningsih, A. Tarya. 2006. Study insesional Variation of Cohecive Suspended Sediment Transport in Estuari of Mahakam Delta by Using a Numerical Model, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 13, No. 1
Hadi, S., N. S. Ningsih, A. Tarya. 2011. Pola Sirkulasi Arus dan Salinitas Perairan Estuari Sungai Kapuas Kalimantan Barat, Jurnal Program Studi Oseanografi, Vol. 1, No. 1
Jumarang, M. I., Muliadi, Ihwan, A., 2008, Pola sirkulasi Arus Tiga Dimensi Perairan Pantai Kalimantan Barat, Journal Aplikasi Fisika FMIPA Haluoleo University, Vol. 4 No.1, hal. 1-9
Jumarang, M. I., Muliadi, N. S. Ningsih, 2012, Perubahan Dasar Perairan Estuari Sungai Kapuas Kalimantan Barat (Studi Kasus : Bulan Januari s.d. April), Journal Ilmu Fisika Indonesia Universitas Tanjungpura, Vol. 1 No.1.
Ningsih, N. S., B. Priyono, S. Hadi, dan A. Tarya. 2007 . Studi Awal Pemodelan Numerik Transpor Sedimen 2D Horisontal di Estuari Mahakam, Jurnal Teknologi Mineral, Vol. XIV, No.2
Pathirana, K. P. P., Yu, C. S., and Berlamont, J. 1994., “Modelling Cohesive Sediment Transport in Tidal Waters”, Hydro-Port 94, International Conference on Hydro-Technical Engineering for Port and Harbor Construction. Yokosuka, Japan, October 19-21
Simpson, J.H. 1997. “Physical Processes in the ROFI Regime”, Journal of Marine Systems 12
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis:, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Uncles, R. J., and Stephens, J. A. 1998. “Sediment Transport in the Humber-Ouse Estuary, UK, during May 1994”, Physics of Estuary and Coastal Seas, Dronkers & Scheffers (eds) Balkema, Rotterdam.

Selasa, 23 Mei 2017

Perbedaan Lansia di Negara Berkembang dan Negara Maju



 Perbedaan Lansia di Negara Berkembang dan Negara Maju
          
Lansia merupakan kependekan dari kata lanjut usia dan biasanya di definisikan sebagai orang tua yang memiliki umur di atas 60 tahun. Menurut Monks (2002) dalam fase perkembangan usia lanjut itu berada dalam fase masa dewasa akhir berusia antara 60 tahun keatas. Dalam arti tumbuh, bertambah besar, mengalami diferensiasi yaitu sebagai proses perubahan yang dinamis pada masa dewasa berjalan bersama dengan keadaan menjadi tua. Terdapat banyak faktor pendorong tingginya jumlah penduduk lansia, salah satunya adalah keberhasilan program Keluarga Berencana di sekitar tahun 1970-an dan semakin majunya pembangunan di bidang kesehatan membuat semakin panjang tingkat harapan hidup penduduk Indonesia. Dengan melihat struktur umur penduduk Indonesia saat ini, maka bisa dikatakan bahwa Indonesia sedang bertransisi menuju  ke arah struktur penduduk tua (ageing population). Suatu negara dikatakan berstruktur tua jika memiliki populasi lansia di atas tujuh persen (Soeweno, 2010).  
         Berdasarkan hasil proyeksi penduduk Indonesia tahun 2010-2035, pada tahun 2015, penduduk lansia Indonesia diperkirakan mencapai 21,9 juta jiwa, yang pada tahun 2010 berjumlah 18 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2020, proporsi penduduk lansia diperkirakan akan mencapai 10 persen dari total penduduk Indonesia. Bahkan dalam kurun waktu lima belas tahun kemudian atau pada tahun 2035, proporsi penduduk lansia akan mencapai 15,7 persen dengan jumlah penduduk sebesar 48,5 juta jiwa (BPS, 2013).
         Di negara berkembang, para lansia baik pria maupun wanita biasanya tinggal dengan anak -anaknya dan cucu-cucunya di dalam satu atap. Dengan jumlah anggota di suatu rumah yang banyak maka kebutuhan finasial maupun ekonomi mereka akan meningkat pula. Di Indonesia banyak lansia yang masih menanggung kehidupan anak dan cucu mereka meskipun mereka sudah berkeluarga. Hal ini terbukti dari data BPS yang mencatat bahwa hampir setengah dari jumlah lansia (47,48 persen) masih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Selain itu, banyak ditemukan lansia yang memberikan ‘modal’ awal kepada anak-anaknya setelah anaknya berkeluarga seperti dalam bentuk uang, tanah, rumah, dan kendaraan.
         Tingginya beban yang masih ditanggung oleh kelompok usia lanjut di Indonesia salah satunya didorong juga oleh akses lansia terhadap jaminan sosial yang tidak memadai. Data BPS tahun 2014 menunjukkan, lansia yang memiliki  jaminan sosial hanya sebanyak 6,66 persen. Angka tersebut terdiri dari: jaminan pensiun (5,82%), jaminan hari tua (0,52%), asuransi kecelakaan kerja (0,56%), jaminan veteran (0,30%), dan pesangon PHK (0,12%). Sedangkan kondisi rumah tangga lansia yang memiliki jaminan kesehatan masih lebih baik dibanding kepemilikan jaminan sosial yaitu sebanyak 52,75 persen. Data di atas adalah data yang berada pada level rumah tangga lansia artinya belum tentu yang memiliki jaminan sosial atau jaminan kesehatan adalah para penduduk lansia yang berada di rumah tangga tersebut.
Jika membandingkan lansia Indonesia dengan negara maju, perbedaannya terdapat pada ketersediaan jaminan hari tua. Hingga saat ini, pemerintah belum merencanakan perlindungan jaminan hari tua bagi setiap masyarakat. Mengingat semakin meningkatnya jumlah lansia, maka akan semakin meningkatkan beban negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 pada pasal 24 disebutkan bahwa penyediaan aksesibilitas bagi lanjut usia pada sarana dan prasarana umum dapat berbentuk fisik dan non fisik. Pada pasal 25 ayat 1 disebutkan bahwa penyediaan aksesibilitas yang berbentuk fisik meliputi : aksesibilitas pada bangunan umum, aksesibilitas pada jalan umum, aksesibilitas pada pertamanan dan tempat rekreasi dan aksesibilitas pada angkutan umum. Pada pasal 25 ayat 2 disebutkan bahwa penyediaan aksesibilitas yang berbentuk non fisik meliputi pelayanan informasi dan pelayanan khusus. Salah satu fasilitas yang sering kita jumpai di Indonesia dan di peruntukan bagi lansia adalah taman lansia dan panti jompo.
Fasilitas panti jompo di Indonesia saja masih sangat terbatas. Bahkan tidak jarang panti jompo yang tersedia tidak cukup menampung lansia yang semakin meningkat sehingga melebihi kapasitas yang ada. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang besar pada saat ini akan berubah menjadi penduduk usia tua yang besar pada sekitar 20 hingga 30 tahun yang akan datang. Jika tidak dipikirkan dari sekarang, dikuatirkan kelompok penduduk tua akan menjadi beban bagi negara dan dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial. Pembangunan infrastruktur untuk lansia harus menjadi perhatian dari sekarang agar pada tahun 2035 dengan jumlah lansia 48,5 juta jiwa penduduk di usia produktif tidak terbebani.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Penduduk Lanjut Usia.  http://www.bps.go.id/download.php?id=9815. (diakses 18 Mei 2017)       
Monks F.J, Knoers A.M.P., Haditono S.R. 2002. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Edisi Keempat Belas.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soeweno, Inten. 2010. Pedoman Pelaksanaan Posyandu Lanjut Usia. Jakarta: Komnas Lansia.